MASALAH
FAKTA DALAM SEJARAH
A. Pengertian
Fakta
Menurut
The New Lexicon (Helius Sjamsuddin dalam buku Metodologi Sejarah 2007:20)
menyatakan bahwa, “fakta adalah sesuatu yang diketahui kebenarannya, suatu
pernyataan tentang sesuatu yang telah terjadi”.
Munurut
Gottschalk (Nugroho Notosusanto dalam buku Mengerti Sejarah 1993:113),
menyatakan bahwa, “fakta didefenisikan sebagai sesuatu unsur yang dijabarkan
secara langsungatau tidak langsung dari dokumen-dokumen sejarah dan dianggap
kredibel setelah pengujian yang saksama sesuai dengan hukum-hukum metode
sejarah”.
B.
Masalah fakta dalam sejarah
1.
Hipotesis Sementara
Dalam fakta-fakta yang didapat peneliti,
peneliti harus memiliki dugaan atau pemikiran sementara untuk dipertanyakan.
Guna pertanyaan yang muncul dari peneliti adalah untuk mengarahkan sebuah
penelitian. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul maka seorang peneliti
dapat menemukan gambaran-gambaran atau mungkin dapat menimbulkan hipotesis
mengenainya. Tetapi seorang peneliti tidak akan dapat mempertanyakan pertanyaan
yang sederhana sekalipun tanpa mengetahui beberapa masalah yang dipertanyakan.
2. Fakta
Dari Kesaksian Primer Dan Kesaksian Sekunder
Dalam penulisan sejarah, peneliti butuh
data yang didapat dari kesaksian orang-orang yang berhubungan langsung dengan
sebuah kejadian atau peristiwa sejarah. Kesaksian bisa didapat dari kesaksian
primer atau dari kesaksian sekuder. Seorang saksi primer adalah saksi yang berhubungan
langsung dengan peristiwa sejarah tersebut. Sedangkan kesaksian sekunder adalah
kesaksian dari orang yang paling dekat dengan saksi primer seperti: keluarga,
saudara, teman, dan yang lainnya. Kesaksian sekunder dipergunakan apabila sudah
tidak ada lagi saksi primer yang hidup pada masa itu. Tetapi seorang peneliti
juga tidak dapat terlalu mengandalkan kesaksian sekunder karena kesaksian
sekunder bukan orang yang berperan langsung dalam peristiwa sejarah. Perkataan
kesaksian sekunder juga tidak dapat dipercaya keseluruhannya karena kesaksian
sekunder hanya mendapat cerita pokok dari kesaksian primer.
3. Kebenaran
Fakta Dari Kesaksian
Dalam memperoleh fakta terutama yang
berhubungan dengan kesaksian, seorang peneliti perlu jeli dalam mengolah fakta
yang didapat. Dalam sebuah kesaksian dari penuturan saksi, peniliti perlu untuk
mempertanyakan sebuah kesaksian yang didapatnya. Dalam sebuah kesaksian seorang
saksi, akan ada banyak unsur yang mempengaruhi akan mempengaruhi keasilan
sebuah kesaksian, yang diantaranya;
-
seorang saksi yang mampu dan mau untuk memberi
kesaksian berkemungkinan memiliki keuntungan sendiri untuk dirinya, atau sebuah
kesaksian yang disampaikan saksi berkemungkinan bohong apabila seorang saksi
memiliki tujuan dari kesaksiannya,
-
ada pula kesaksian yang mengarahkan,
maksudnya bahwa kesaksian yang diberikan
saksi bermaksud untuk mengarahkan peneliti pada kesaksian yang diinginkan saksi
-
Kesaksian yang diberikan dapat merugikan
saksi, orang-orang terdekat saksi, dan yang lainya. sehingga saksi memberikan
kesaksian palsu
4. Pencarian
Detail Khusus Dari Kesaksian
Dalam sebuah kesaksian, walaupun
kesaksian palsu sekalipun seorang peneliti harus dapat mencari detail khusus
dari kesaksian pelaku. Dari kesaksian tersebut jika sebuah kesaksian bohong
dalam kesaksiannya, maka peneliti dapat mencari pokok penting yang menjadi
petunjuk dari sebuah kesaksian. Karena bagaimanapun sebuah kesaksian yang palsu
akan mengarah atau menjurus pada sebuah fakta yang sebenarnya. Dalam kesaksian
palsu sekalipun satu kata saja bisa membantu seorang peneliti dalam melakukan
penelitiannya.
Jadi seorang peneliti tidak dapat
mengabaikan sebuah kesaksian yang didapatnya tanpa adanya penyelidikan, dan
tugas penelitilah yang nantinya akan memisahkan mana data yang relevan dan yang
tidak.
5. Fakta
Yang Berbentuk Objek/Barang
Sebuah fakta yang berasal dari barang
seperti dokumen, biasa dipergunakan oleh peneliti. Sebuah dokumen amat berguna
dalam penelitian sejarah sebagai bukti otentik. Fakta yang bersifat objektif
sangat berguna dalam penelitian sejarah untuk menentukan perkiraan waktu,
tempat, atau peristiwa. Karena bukti yang berbentuk barang tidak dapat
berbohong tetapi dapat dipalsukan. Namun dalam mengolah dokumen peneliti
dipersulit oleh data yang kurang lengkap terutama jika sebuah dokumen yang
sudah lama tetapi beberapa bagian hilang, atau untuk mengetahui perkiraan waktu
pada dokumen yang didapat peneliti ternyata dokumen tersebut sudah sulit untuk
diolah mungkin karena bagian dokumen ada yang terpotong atau dukumen telah
usang.
6. Keaslian
Sebuah Fakta Berbentuk Objek/Barang
Dalam meneliti seorang peneliti tidak
dapat dengan mudah mempercayai apa yang dilihatnya. Dalam penelitian sejarah seorang peneliti
harus kritis terhadap fakta yang ia dapat terutama yang berbentuk barang. Bisa
dicontohkan sebuah dokumen, dari dokumen-dokumen yang didapat oleh seorang
peneliti, peneliti harus dapat mempertanyakan dokumen-dokumen tersebut apakah
dokumen itu asli atau palsu. Karena dalam masalah fakta yang berbentuk
objek/barang ini, sering terjadi pemalsuan terutama pada dokumen yang menjadi
bukti sejarah. Dokumen-dokumen yang dimiliki peneliti terkadang adalah dokumen
palsu. Sehingga peneliti diharapkan untuk teliti dalam mengolah bukti yang
didapat.
7. Kebenaran
Fakta Dari Pengarang
Dalam sebuah fakta berupa dokumen atau
data yang didapat peneliti, data tersebut tidak boleh langsung dipercayai oleh
peneliti tanpa adanya penelitian. Terutama apabila pengarang atau penulis dari
dokumen atau data belum diketahui atau datanya kurang, maka tugas peneliti
untuk melakukan penyelidikan terhadap pengarang terlebih dahulu. Karena tanpa
tau pengarang dari sebuah fakta sejarah akan berakibat fatal. Sebuah dokumen
bisa saja dibuat oleh orang-orang yang berkepentingan untuk melakukan pemalsuan
sejarah untuk kepentingannya. Jadi peneliti tidak dapat menerima begitu saja
sebuah bukti tanpa mengetahui darimana bukti itu berasal.
8. Penilaian
Pribadi
Menurut Sartono Kartodirjo (1993:88),
menyatakan bahwa, “fakta adalah kontruks yang dibuat sejarawan, sehingga telah
mengandung unsur-unsur subjektif dari penulis sendiri”. Jika pandangan ini
benar, maka akan sulit untuk mempertanggujawabkan fakta yang benar terjadi.
Tetapi Bapak studi sejarah kritis mengatakan bahwa sejarawan hanya bertugas
untuk membuat sejarah sesuai fakta. Sedang Von Ranke menyatakan bahwa fakta itu
sudah objektif, tetapi yang sebenarnya tidak ada fakta yang benar-benar 100%
objektif karena bagainamapun sebuah fakta sejarah nilainya sudah berubah. Hal
ini disebabkan karena adanya unsur subjektif. Namun paling tidak fakta itu ada
yang hampir mendekati. Seperti penuturan Gottschalk (Nugroho Notosusanto dalam
buku Mengerti Sejarah 1993:112), bahwa “fakta tidak harus sungguh-sungguh
terjadi, tetapi setidaknya fakta mendekati dengan kejadian yang sesungguhnya,
sejauh kita dapat mengetahui dengan melakukan penyelidikan kritis dengan
sumber-sumber terbaik yang ada”. Jadi fakta dikatakan sesuatu yang tampaknya
benar tetapi bukan benar secara objektif.
Dalam sejarah masalah fakta banyak
terjadi karena setiap sejarawan memiliki pandangan tersendiri terhadap sejarah
yang ia tulis. Banyak tulisan sejarah yang pro dan kontra tentang sebuah
sejarah. Hal ini disebabkan oleh bagaimana sejarawan dalam penulisannya sendiri
sehingga fakta itu sering diarahkan pada sebuah penilaian seperti nilai etis,
nilai rasial, nilai agama, kelas sosial, dan lainnya. Fakta sangat terpengaruh
terhadap nilai-nilai tersebut. Contohnya fakta akan peran wanita masa
feminimisme banyak di abaikan. Jadi nilai dan norma membantu dalam penyeleksian
fakta. Faktor nilai juga menunjukan relevansi fakta terhadap konteks,
keberpihakan, partisipan dalam menggarap fakta. Jika nilai-nilai dibiarkan
masuk kedalam fakta maka subjektifisme akan merajalela dan kejujuran ilmu akan
terpengaruhi.
Tetapi fakta seperti apa, kapan, siapa,
dan dimana, akan terasa kosong ibarat rumah yang tidak diisi, maka dibutuhkan
pemikiran-pemikiran dari sejarawan untuk mengisi fakta-fakta tersebut agar
berisi. Fakta tidak bicara sendiri, fakta tanpa sejarawan tidak akan memiliki
arti, karena sejarawanlah yang akan mengisi fakta sehingga menjadi cerita.
Fakta tanpa diisi akan seperti cerita kosong tetapi setelah diisi oleh
pemikiran sejarawan, maka fakta itu akan menjadi sebuah cerita yang berisi dan
penting. Hubungan antara fakta dengan sejarawan adalah sebagai pemberi dan
penerima. Sejarawan dan fakta ibarat masa lampau dan masa sekarang, mereka
saling terhubung dan saling membutuhkan.
Jadi pada intinya pemikiran yang
dimiliki oleh sejarawan memang dibutuhkan untuk mengolah fakta yang ada untuk
menjadikannya sebuah cerita yang penting dan bermakna. Tetapi seorang sejarawan
tetap harus memperhatikan dalam menyeleksi fakta dan penulisan sejarah, bahwa
fakta harus sesuai dengan fakta yang sebenarnya dan seorang sejarawan tidak
boleh mencampurkan unsur subjektif (keberpihakan) terhadap fakta sejarah yang
akan dibuat.
KESIMPULAN
Dalam
penelitian sejarah, unsur terpenting adalah fakta. Fakta amat menentukan dalam
sebuah penulisan sejarah. Masalah-masalah yang dibahas dalam makalah ini
lebih menjelaskan penyalahgunaan fakta
dalam sejarah, bagaimana penyalahgunaan dilakukan menyangkut fakta sejarah dan
bagaimana fakta sejarah yang telah ada atau didapat ternyata memiliki tingkat
keakuratan yang rendah. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemurnian ilmu
sejarah, bahkan sebuah cerita sejarah dapat dipertanyakan pertanggungjawabannya
terhadap peneliti akubat kurangnya ketelitian dapam melakuakn penelitian. Jadi
dengan adanya masalah-masalah fakta dalam sejarah tersebut, sejarawan
diharapkan dapat lebih teliti dalam mengelolah fakta-fakta yang didapat agar
tidak ada lagi kesalahan terhadap sumber yang didapat oleh peneliti dan agar
tidak adanya kesalahan terhadap penulisan sejarah yang akan membuat persepsi yang
salah pula terhadap orang-orang yang mengetahui tentang sejarah tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Gottschalk,
Louis. 1993. Mengerti Sejarah.
Bandung: UIP.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo.
1995. Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakatra: Bentang
Sjamsuddin,
Helius. 2007. Metodologi Sejarah.
Bandung: Ombak.